Proses Spermatogenesis
Pembentukan spermatozoa dibagi atas 3 tahap:
spermatocytogenesis
meiosis
spermiogenesis
(Intan Riani, 2009)
spermatocytogenesis
disebut juga tahap proliferasi atau perbanyakan. Spermatogonia mengalami mitosis
berkali-kali, sehingga menjadi spermatogonia yang siap mengalami meiosis. Spermatogonia asal yang mengalami proliferasi disebut spermatogonium tipe A berinti bundar dan bernukleolus di pinggir. Spermatogonium tipe B memiliki inti bundar dan nucleolus agak di tengah. Spermatogonium tipe B bermitosis lagi menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer berada di lapisan kedua tubulus arah ke lumen.
Meiosis
Spermatosit primer menjauh dari lamina basalis, sitoplasma makin banyak. Ia segera mengalami meiosis. Pada meiosis I, akan menempuh fase leptoten, zigoten, pakiten, diploten, dan diakinesis dari profase lalu metaphase, anaphase dan telofase. Pada meiosis II pun menempuh profase, metaphase anaphase dan telofase.
Cytokinesis pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih lengkap terpisah, tapi masih berhubungan sesame lewat suatu jembatan, disebut intercellular bridge. Lewat jembatan ini komunikasi sel bertetangga dapat berlangsung Dibandingkan dengan spermatpsit !, spermatosit II memiliki inti yang gelap.Spermatid sudah sangat beda bentuknya dari spermatosit II.
Spermiogenesis
Transformasi spermatid menjadi spermatozoa mengalami 4 fase: fase golgi, fase tutup, fase akrosom, dan fase pematangan.
Fase golgi, saat butiran proakrosom terbentuk dalam alat golgi spermatid. Butiran atau granula ini nanti bersatu membentuk satu butiran akrosom. Butiran ini dilapisi membran dalam gembungan akrosom. Gembungan ini melekat ke salah satu sisi inti yang bakal jadi bagian depan spermatozoon.
Fase tutup, saat gembungan akrosom makin besar, membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang bakal jadi bagian depan. Akhirnya terbentuk semacam tutup spermatozoon
Fase akrosom, terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukleoplasma berkondensasi, sementara itu spermatid memanjang. Bahan akrosom kemudian menyebar membentuk lapsian tipis meliputi kepala tutup, sampai akrosom dan tutup kepala membentuk tutup akrosom.
Akrosom kaya akan karbohidrat dan enzim hidrolisa: hialoronidase, neuroaminidase, posfatase asam, dan proteoase yang aktivitasnya mirip tripsin. Sementara itu inti spermatid memanjang dan menggepeng. Nutiran nukleoplasma mengalami transformasi menjadi filamen-filamen yang pendek dan tebal serta kasar.
Fase pematangan, terjadi perubahan bentuk spermatid sesuai dengan ciri spesies. Butiran ini akhirnya bersatu dan inti jadi gepeng bentuk pyriform, sebagai ciri spermatozoa primata. Ketika akrosom terbentuk di bakal jadi bagian depan spermatozoa, sentriol pun bergerak ke kutub bersebrangan. Sentriol terdepan membentuk flagellum. Mitokondria membentuk cincin-cincin di bagian midle piece ekor. Ketika ekor mengalami diferensiasi sitoplasma sisa yang diselaputi membran, melepaskan diri ke samping. (Wildan Yatim,1994)
(Intan Riani, 2009)
Hormon Reproduksi Jantan
Fungsi endokrin dari testis terutama adalah menghasilkan testosterone, hormone
kelamin jantan yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial (sel Leydig). Hormone seperti testosterone yang berpengaruh terhadap sifat kejantanan disebut androgen. Testis adalah sumber utama androgen, tetapi androgen dalam jumlah sedikit juga dihasilkan oleh korteks adrenal ovari betina dan placenta. Kerja testosterone telah diketahui dipergunakan untuk suatu produk sekresi internal, sebab pelaksanaan kastrasi pada hewan jantan . .
berkurangnya libido dan ketidakmampuan untuk menghasilkan keturunan, keduanya adalah pengaruh menonjol dari kastrasi dan kurangnya testosterone. Kerja testosterone dipelajari terutama dengan menggunakannya sebagai perlakuan pengganti dalam percobaan kastrasi hewan. Testosterone memacu perkembangan dan fungsi kelenjar-kelenjar kelamin aksesori yang menyebabkan berkembangnya karakteristik kelamin sekunder dan mengontrol sekresi LH pada hewan jantan. Testosterone meningkatkan anabolisme protein, menyebabkan bertambahnya berat tubuh disbanding dengan yang betina.
Spermatogenesis dimulai oleh FSH dari adenohipofisis pada kelenjar pituitary, tetapi testosterone diperlukan untuk melengkapi proses tersebut. Gonadotrofin hipofiseal secara langsung mengontrol mitosis dan meiosis dan secara tidak langsung mengontrol pemasakan spermatid. Karena sel-sel interstitial dirangsang oleh LH untuk menghasilkan testosterone, ternyata testosterone berperan dalam mekanisme umpan balik untuk menghambat produksi LH. FSH biasanya untuk pemasakan spermatid yang terakhir. LH mengontrol sekresi testosterone dan prolaktin meningkkatkan LH dalam mempertahankan produksi testosterone.( Frandson, 1992)
Estrogen dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika distimulasi oleh FSH. Sel-sel sertoli juga mensekresi suatu protein pengikat androgen yang mengikat testoteron dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan pada tubulus seminiferus. Kedua hormon ini tersedia untuk pematangan sperma.( Anonim C,2008)
Proses normal spermatogenesis diatur oleh sistem hormon (FSH, LH dan testosteron), yang pengendaliannya melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis (Gambar 2). FSH mempengaruhi sel Sertoli dan sel spermatogenik untuk metabolisme normal; sel Sertoli di bawah pengaruh FSH mensintesis protein pengikat androgen (ABP) yang berfungsi untuk mengikat testosteron, untuk selanjutnya digunakan dalam proses pembelahan dan pematangan spermatogonia menjadi spermatozoa. Adapun LH penting dalam mempengaruhi sel Leydig memproduksi testosteron.
Inhibin merupakan protein yang juga dihasilkan oleh sel Sertoli. Secara normal fungsinya mengatur sekresi FSH melalui mekanisme umpan balik negatif; dengan demikian inhibin yang berlebihan akan menekan sekresi FSH oleh hipofisis. Apabila inhibin meningkat terus (penambahan secara eksogen), maka konsentrasi FSH menjadi rendah jauh di bawah normal. Akibatnya spermatogenesis dapat terganggu dan jumlah spermatozoa di bawah normal, bahkan menjadi azospermia. Penggunaan inhibin untuk kontrasepsi pria dirasakan perlu dan sangat baik, sebab pemberian inhibin secara eksogen akan menghambat sekresi FSH tetapi tidak menghambat sekresi LH; dengan demikian maka produksi androgen (testosteron) oleh sel Leydig tidak terganggu, ini berarti libido tetap tidak terganggu. Di bawah ini ada beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh substansi inhibin terhadap spermatogenesis. Dengan cara isolasi seperti yang dikemukakan terdahulu dengan spektrofotometri (panjang gelombang 280 nm) diperoleh
dua puncak yang berbeda yaitu PI dan PII. Dalam suasana asam PII memisah menjadi dua puncak yaitu, ACI dan ACII. Fraksi ACI tidak mempengaruhi penurunan konsentrasi FSH dan LH dalam serum. Namun fraksi ACII yang diberikan secara intra peritonial (i .p) menurunkan secara nyata konsentrasi FSH
serum, akan tetapi konsentrasi LH tidak dipengaruhi Dissel-Emiliani dkkjuga telah melakukan penelitian pengaruh inhibin (dari cairan folikel bovin/bFF) terhadap jumlah sel spermatogenik testes mencit dan hamster. Cairan folikel Bovin yang diinjeksikan secara intraperitoneal selama dua hari pada mencit, mengakibatkan penurunan 91% spermatogonia A-4, 74% spermatogonia dan 67% spermatogonia B dibanding kontrol. Selain itu, juga FSH turun menjadi 6% lebih rendah dan kontrol. Pada hamster, perlakuan yang sama selama 4 hari juga menurunkan jumlah sel-sel spermatogenik. Spermatogonia A-3 turun 86%, spermatogonia In turun 61%, spermatogonia B-I turun 55% danspermatogonia B-2 turun 94% dibanding kontrol. Dengan demikian disimpulkan bahwa cairan folikel bovin me ngandung substansi inhibin yang dapat mengendalikan perkem-bangan sel-sel spermatogenik. Pengaruhnya terjadi pada epitel tubulus seminiferus, akibat rendahnya sekresi FSH. Sharpe memberikan Ethane Dimethane Sulphonat untuk merusak fungsi sel Leydig, dari hasil penelitian tersebut di-simpulkan bahwa inhibin disekresi oleh sel Sertoli, kemudian dikeluarkan ke dalam cairan interstitial. Di samping itu, meningkatnya sekresi inhibin berkorelasi negatif terhadap sekresi FSH (Anonim C, 2009)
Mekanisme Descendens Testiculorum
Menjelang akhir bulan ke-2, testis dan mesonefros dilekatkan pada dinding belakang perut melalui mesenterium urogenital, dengan terjadinya degenerasi mesonefros pita pelekat tersebut berguna sebagai mesenterium untuk gonad. Kearah kaudal, mesenterium ini menjadi ligamentum genitalis kaudal. Sruktur lain yang berjalan dari kutub kaudal testis adalah gubernakulum yaitu pemadatan mesenkim yang kaya matriks ekstraseluar. Testis turun mencapai cincin inguinal interna pada bulan ketujuh, dan kemudian melewati kanalis inguinalis pada bulan kedelapan dan memasuki skrotum saat kelahiran.Selama proses penurunannya, testis diselubungi oleh perpanjangan peritoneum (prosessus vaginalis) yang mengarah ke skrotum fetal. Testis turun ke bawah di belakang prosessus vaginalis yang normalnya terobliterasi pada saat kelahiran membentuk pelapis testis paling dalam (tunica vaginalis).
\
( Wildan Yatim,1994)
Faktor yang mengendalikan testis antara lain pertumbuhan keluar bagian ekstraabdomen gubernakulum menimbulkan migrasi intrabdomen, pertambahan tekanan intrabdomen yang disebabkan pertumbuhan organ mengakibatkan turunnya testis melalui canalis inguinalis dan regresi bagian ekstraabdomen gubernakulum menyempurnakan pergerakan testis masuk ke dalam skrotum. Proses ini dipengaruhi oleh hormon androgen dan MIS ( mullerian inhibiting substances).
Penurunan testis terjadi melalui 2 fase, yaitu fase penurunan transabdominal dan fase migrasi inguino-scrotal. Pada fase pertama, yang pada manusia terjadi pada umur 8-15 minggu kehamilan, testis tertahan di annulus inguinalis internus oleh ligamentum kaudal yang disebut dengan Gubernakulum. Penahanan ini mencegah testis untuk bergerak naik seperti halnya ovarium pada perempuan. Pada penelitian preklinik, perkembangan gubernakulum tergantung pada Insuline-Like Hormone 3 (INSL-3)dan reseptornya yaitu Leucine-rich repeat-containing G protein coupled receptor 8 (LGR-8). Namun, setelah beberapa ratus pasien dengan cryptorchidism di skrining kondisi gen INSL-3 dan LGR-8 , hanya beberapa pasien yang didapatkan bukti adanya mutasi pada gen tersebut. Mutasi tersebut terjadi pada kondisi heterozigot . Lebih jauh lagi, hanya mutasi dari V18M, P49S dan R102dari gen INSL-3 dan mtasi T222P dari gen LGR-8 yang terbukti secara invitro memiliki efek pada fungsi produksi gen. Mutasi P49S telah diidentifikasi pada individu 46,XY yang memiliki genitalia eksternal perempuan. Frekuensi yang rendah dar mutasi INSL-3 dan LGR-8 pada pasien cryptorchidism menunjukkan bahwa pada manusia, fase pertama dari penurunan testis biasanya jarang terganggu. Dan sebaliknya berarti yang sering terganggu adalah pada fase inguino-scrotal (fase 2). Telah diketahui bahwasanya INSL-3 juga berperan penting pada proses penurunan testis pada fase 2.Penelitian perkembangan gubernakulum pada mencit menunjukkan bahwa, regresi dari ligamentum suspensorium cranial dari gonad juga berkontribusi terhadap positioning dari gonad. Regresi ini bergantung pada androgen, dan oleh karena itu mencit betina yang terekspos dengan androgen prenatal menunjukkan sedikit penurunan ovarium dan pada mencit jantan dengan mutasi pada gen reseptor androgennya, menunjukkan retensi ligamentum suspensorium cranialnya.
Pada fase yang kedua, testis bermigrasi dari area inguinalis interna menuju skrotum. Pada manusia, fase ini biasanya terjadi secara komplit pada saat bayi dilahirkan, sedangkan pada tikus proses ini terjadi hanya terjadi post natal. Gubernakulum membesar dan mungkin menyebabkan pelebaran pada canalis inguinalis. Kemudian pengerutan dari gubernakulum dan adanya tekanan intra abdominal yang tinggi dapat mendesak testis untuk bergerak melalui canalis inguinalis.
Pada hewan ataupun mencit, Fase inguino-skrotal ini tergantung pada androgen. Efek dari tekanan intraabdominal atau efek pasial androgen dapat menjelaskan fakta bahwa ada sedikit pasien dengan insensitivitas androgen dapat memiliki testis di labianya. Cryptorchidism juga berhubungan dengan genital undermasculinization yang disebabkan oleh faktor-faktor lain selain defisiensi aksi dari reseptor androgen. Undervirilization dari laki-laki dengan gen 46,XY dapat disebabkan berbagai macam faktor seperti aksi atau fungsi gonadotropin yang terganggu, inborn error dari biosintesis kolesterol atau gangguan sintesis dan metabolism androgen. Hipogonadotropik hipogonadisme biasanya berhubungan dengan cryptorchidism. Selama kehamilan hCG dapat menggantikan fungsi yang hilang dari Luteneizing Hormon (LH) sehingga hal ini dapat menjelaskan kenapa tidak semua anak laki-laki dengan Hipogonadotropik hipogonadisme dilahirkan dengan Cryptorchidism.
Sindrom duktus mullerian persisten disebabkan oleh abnormalitas pada hormone anti-mullerian dan reseptornya. Pada sindrom ini, lokasi testis dapat di intra abdominal, atau didalam hernia inguinal bersama dengan aksesori organ reproduksi perempuan dan testis kolateral. Hal ini berarti fase transabdominal telah terganggu, dan ditemukan juga bahwa gubernakulum terlah mengalami feminisasi pada sindrom ini. Cryptorchidism juga muncul pada beberapa sindrom lain seperti Down, prune belly dan Prader-Willi.
Penyebab Criptorchidismus
Cryptorchidism dapat dikelompokkan berdasarkan temuan fisik dan operatif, yaitu :
Ø True undescended testicles, termasuk intra abdominal, miksi di annulus interna dan canalicular testis, yang berada sepanjang jalur penurunan normal dan memiliki insersi gubernakulum yang normal.
Ø Ectopic Testicle, yang memiliki insersi gubernakulum yang abnormal
Ø Retractile Testicle, yang merupakan not trully undescended testicle, karena tidak ada terapi hormone atau operasi yang dibutuhkan pada kondisi ini.
Sekitar 20% bayi yang menderita cryptorchidism memiliki paling tidak satu testis yang tidak teraba. Melalui pemeriksaan bedah, sekitar setengah dari testis yang tidak teraba tersebut ditemukan didalam abdomen, sementara sisanya merupakan kondisi dimana testis memang tidak ada/ hilang atau testisnya mengalami atrofi. Hilangnya testis kemungkinan disebabkan oleh torsi testicular pada saat intra uterin.
Pemeriksaam fisik umum yang menekankan pada tanda-tanda gambaran sindrom dapat menjelaskan alas an-alasan terjadinya cryptorchidism, seperti Prader-Willi, Kallmann's atau Laurence-Moon-Biedl syndromes. Genitalia harus diperiksa untuk membuktikan adanya hipospadia atau ambiguitas kelamin. Terjadinya hipospadia bersamaan dengan cryptorchidim, berhubungan dengan kondisi interseksualitas, khususnya mixed gonadal dysgenesis dan True Hermaphroditism.
Pemeriksaan testicular pada bayi dan anak-anak membutuhkan tekhnik dua tangan. Satu tangan bermulai dari regio panggul dan dengan hati-hati diusap sepanjang kanalis inguinalis, tambahkan lubrikan atau air sabun yang hangat (Gambar A). True undescended atau ectopic inguinal testicle akan teraba seperti benjolan dibawah jari pemeriksa selama maneuver ini (Gambar B dan C). Keadaan ektopik yang rendah atau retractile testicle akan terasa pada tangan yang berlawanan dan akan tampak pada skrotum (Gambar D). Testis ektopik akan secara cepat keluar dari skrotum ketika dia dilepaskan. Sedangkan testis yang terretraksi akan tetap bertahan sampai stimulasi yang lebih lanjut yang menyebabkan reflek kremaster.
Diferensiasi dari retractile testis dari true undescended testis kadang-kadang merupakan suatu hal yang sulit; konsul ke ahli urologi mungkin berguna untuk menegakkan diagnosis. Posisi, konsistensi dan ukuran dari undescended testicle dibandingkan dengan testis disebelahnya. Jika testis tidak dapat diraba pada kanalis inguinalis atau skrotum, atau pada tempat ektopik seperti region femur atau perineum, evaluasi terhadap testis yang tidak teraba ini harus dilakukan. Kadang-kadang jaringan pada skrotum dapat terasa seperti testis yang atrofi. Kadang-kadang jaringan ini merupakan gubernakulum atau epididimis dan vas deferens, dan dapat coexist dengan testis intraabdomen.
Evaluasi Bilateral Nonpalpable Testis
Secara fenotip, neonates laki-laki dengan Bilateral Nonpalpable Testis harus di pertimbangkan bahwa secara genetik neonates tersebut adalah perempuan dengan hyperplasia adrenal congenital sampai terbukti sebaliknya. Hiperplasia adrenal congenital jarang ditemukan pada fenotipe laki-laki normal dan hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Pemeriksaan Ultrasound pada struktur perlvis, kryotyping dan pengukuran serum elektrolit, testosterone, müllerian-inhibiting hormone, dan hormone adrenal dan metabolitnya (17-hidroksiprogesteron) harus dilakukan pada evaluasi awal. Pada ank yang lebih tua, Bilateral Nonpalpable Testis harus di evaluasi secara hormonal terhadap kemungkinan tidak adanya testis.
Pemeriksaan pada serum harus meliputi testosterone, luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone (FSH) dan müllerian-inhibiting substance (MIS). Kenaikan kadar LH dan FSH, sebagaimana tidak adanya MIS, mengindikasikan tidak adanya testis. Pengukuran kadar hormone thyroid dan kortisol harus dipertimbangkan karena hipogonadisme dapat muncul pada aplasia pituitary. Tes Stimulasi dengan menggunakan human chorionic gonadotropin (hCG) dapat dilakukan untuk mengecek adanya bukti dari produksi testosterone.
Pada beberapa kondisi, evaluasi radiologi pada nonpalpable testicle tidak diperlukan. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa ultrasonografi, MRI atau CT adalah modalitas yang sensitive untuk mendeteksi testis intra abdomen, dan tidak ada yang cukup spesifik untuk mengeksklusi testis intraabdomen. Oleh karena itu, pemeriksaan secara eksplorasi bedah tetap dibutuhkan. Pemeriksaan ultrasound dapat berguna pada bayi dengan bilateral nonpalpable testes untuk melihat gonad dan mengeksklusi adanya uterus, yang dapat mengindikasikan kondisi intersexualitas. Pemeriksaan ultrasound juga dapat membantu pada anak overweight untuk mendeteksi testis di inguinal yang sulit untuk dipalpasi.
Testis ektopik : penurunan testis terjadi sepanjang canalis inguinalis dan melewati anulus inguinalis externus, namun testis dapat terletak pada posisis ektopik sehingga tampak superfisial dari oblik eksterna, pangkal penis, perineum atau pada bagian atas dan medial paha. Testis retraktil : penurunan testis secara normal dan aktivitas cremaster berlebihan menarik testis ke atas melalui canalis inguinalis. Tarikan halus dapat mengembalikan testis pada skrotumSetelah undescended tstis terdiagnosis, terapi harus segera dilakukan. Indikasi utama untuk terapi awal adalah peningkatan risisko infertilitas, risiko keganasan dan risiko testicular torsio. Terapi yang diberikan dapat berupa hormonal maupun surgical.
Ø Terapi hormonal
Terapi hormonal dengan menggunakan hCG digunakan dengan 2 tujuan yaitu: penurunan testis sel dan stimulasi maturasi dan proliferasi sel germinal. hCG diberikan 2 kali seminggu secara intramuskular selama 6 bulan.
Terapi hormonal baik digunakan pada anak dengan undescended testis bilateral, karena kegagalan penurunan testis kemungkinan besar diakibatkan insufisiensi hormon androgen.
Ø Terapi surgical
Terapi ini dibutuhkan untuk semua jenis undescended testis. Terdapat tiga prinsip operasi :
(Anonim B, 2008)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim A. 2004. Fisiologi Reproduksi Ternak I. Yogyakarta : FKH UGM
Anonim B.16 June 2009.http://dokterkharisma.blogspot.com/2008/08/undescended-testis-cryptorchidism.html
Anonim C.16 June2009. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11InhibinSebagaiBahanAlternatifKontrasepsiPria120.pdf/11InhibinSebagaiBahanAlternatifKontrasepsiPria120.html
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta : UGM Press
Wildan, Yatim. 1994. Reproduksi dan Embriologi. Bandung : Tarsito
Intan Riani.16 June 2009.http://intanriani.wordpress.com/pembentukan-gamet-jantan-spermatogenesis/
Rabu, 17 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar